14 Januari 2014

Angguk, Kesenian Langka Bernapas Islam


Mengisi hari-hari tua, Maryoto (70), dalang kesenian Angguk asal Desa Pasunggingan, Kecamatan Pengadegan, Purbalingga ini dengan cara bertani. Sejatinya, bertani bagi Maryoto dan sebagian anggota grup kesenian Angguk adalah pekerjaan utama, sementara berkesenian hanya sampingan.

Kesulitan air bagi warga Pengadegan pada umumnya mengakibatkan pertanian yang dikerjakan adalah berkebun dengan tanaman singkong dan jagung, bukan pertanian padi. Tidaklah luas tanah pertanian yang dikerjakan Maryoto yang merupakan tanah turun-temurun.

Tak hanya tanah yang diwariskan, Maryoto pun mewarisi kesenian langka Angguk yang sudah ada sejak zaman Belanda di desanya dari kakek dan bapaknya. “Saya ini generasi ketiga yang menjalankan seni Angguk. Sebelumnya bapak saya Ahmad Roji dan kakek saya Asep Wijaya,” tutur kakek yang mempunyai 5 anak dan 10 cucu ini.

Kesenian Angguk merupakan kesenian bernapaskan Islami. Ciri-cirinya dengan gerakan penari yang berjumlah delapan orang dengan gerakan mengangguk-angguk. Konon, anggukan merupakan bentuk penghormatan kaum muslim saat mereka saling bertemu. Selain itu, alat musik untuk mengiringi tarian berupa rebana, bedug, dan kendang. Sementara syair-syair yang dilantunkan diambil dari kitab Barzanji.

Tarian Angguk ini dibawakan oleh delapan penari yang semuanya laki-laki. Dua penari dibagian depan disebut barong atau mbarep, empat penari tengah prajurit, dan dua penari belakang dinamakan buntil. Khusus penari buntil diperankan oleh anak-anak atau remaja.

Regenerasi
Keterlibatan anak-anak dalam kesenian Angguk ini, meyakinkan Maryoto, bahwa kesenian langka peninggalan nenek moyang ini akan mampu bertahan. Kerap anak-anak SD atau SMP main ke rumah Maryoto yang sekaligus sebagai sanggar seni Angguk “Sri Rahayu”.

“Mencari pemain Angguk caranya ya dengan merayu anak-anak yang suka main ke rumah. Kalau mereka suka, tinggal menemui orang tuanya. Seringkali anaknya ingin bermain Angguk tapi orang tuanya yang tidak setuju, atau sebaliknya,” ungkap Maryoto yang juga bertindak sebagai dalang Ebeg.

Saat ini, penari Angguk yang berperan sebagai buntil yaitu Gilang Pratama yang sudah duduk di bangku kelas XI SMKN Bawang Banjarnegara dan Kris Egianto yang masih duduk di kelas IX SMPN 3 Pengadegan Purbalingga.

Menurut Kris Egianto, awal bergabung dengan grup Angguk “Sri Rahayu” beberapa bulan lalu karena kerap bermain ke rumah Maryoto yang memang tak jauh dari rumahnya. “Kadang melihat mereka latihan, saya seperti jatuh cinta pada kesenian Angguk. Orang tua saya setuju dan mendukung saya bergabung,” jelas remaja yang juga suka bermain sepakbola.

Tidak ada rasa khawatir di wajah Maryoto, kesenian langka Angguk ini akan punah. Mata batinnya mampu melihat anak-anak yang akan bergabung dan meneruskan kesenian Islam ini. Karena itu, salah satu usaha Maryoto dengan memperbaharui gerakan dan cara menabuh alat musik agar lebih dinamis.

Oleh: Tito Firesta, Uli Retno Dewanti, Nugroho Budi Santosa
Pelajar SMAN Bukateja Purbalingga

Tidak ada komentar: