Mengisi hari-hari tua, Maryoto
(70), dalang kesenian Angguk asal Desa Pasunggingan, Kecamatan Pengadegan,
Purbalingga ini dengan cara bertani. Sejatinya, bertani bagi Maryoto dan sebagian
anggota grup kesenian Angguk adalah pekerjaan utama, sementara berkesenian
hanya sampingan.
Kesulitan air bagi warga
Pengadegan pada umumnya mengakibatkan pertanian yang dikerjakan adalah berkebun
dengan tanaman singkong dan jagung, bukan pertanian padi. Tidaklah luas tanah
pertanian yang dikerjakan Maryoto yang merupakan tanah turun-temurun.
Tak hanya tanah yang
diwariskan, Maryoto pun mewarisi kesenian langka Angguk yang sudah ada sejak
zaman Belanda di desanya dari kakek dan bapaknya. “Saya ini generasi ketiga
yang menjalankan seni Angguk. Sebelumnya bapak saya Ahmad Roji dan kakek saya
Asep Wijaya,” tutur kakek yang mempunyai 5 anak dan 10 cucu ini.
Kesenian Angguk merupakan
kesenian bernapaskan Islami. Ciri-cirinya dengan gerakan penari yang berjumlah
delapan orang dengan gerakan mengangguk-angguk. Konon, anggukan merupakan
bentuk penghormatan kaum muslim saat mereka saling bertemu. Selain itu, alat musik
untuk mengiringi tarian berupa rebana, bedug, dan kendang. Sementara syair-syair
yang dilantunkan diambil dari kitab Barzanji.
Tarian Angguk ini dibawakan
oleh delapan penari yang semuanya laki-laki. Dua penari dibagian depan disebut
barong atau mbarep, empat penari tengah prajurit, dan dua penari belakang
dinamakan buntil. Khusus penari buntil diperankan oleh anak-anak atau remaja.
Regenerasi
Keterlibatan anak-anak
dalam kesenian Angguk ini, meyakinkan Maryoto, bahwa kesenian langka
peninggalan nenek moyang ini akan mampu bertahan. Kerap anak-anak SD atau SMP
main ke rumah Maryoto yang sekaligus sebagai sanggar seni Angguk “Sri Rahayu”.
“Mencari pemain Angguk
caranya ya dengan merayu anak-anak yang suka main ke rumah. Kalau mereka suka,
tinggal menemui orang tuanya. Seringkali anaknya ingin bermain Angguk tapi
orang tuanya yang tidak setuju, atau sebaliknya,” ungkap Maryoto yang juga
bertindak sebagai dalang Ebeg.
Saat ini, penari Angguk
yang berperan sebagai buntil yaitu Gilang Pratama yang sudah duduk di bangku
kelas XI SMKN Bawang Banjarnegara dan Kris Egianto yang masih duduk di kelas IX
SMPN 3 Pengadegan Purbalingga.
Menurut Kris Egianto, awal
bergabung dengan grup Angguk “Sri Rahayu” beberapa bulan lalu karena kerap
bermain ke rumah Maryoto yang memang tak jauh dari rumahnya. “Kadang melihat
mereka latihan, saya seperti jatuh cinta pada kesenian Angguk. Orang tua saya setuju
dan mendukung saya bergabung,” jelas remaja yang juga suka bermain sepakbola.
Tidak ada rasa khawatir di
wajah Maryoto, kesenian langka Angguk ini akan punah. Mata batinnya mampu
melihat anak-anak yang akan bergabung dan meneruskan kesenian Islam ini. Karena
itu, salah satu usaha Maryoto dengan memperbaharui gerakan dan cara menabuh
alat musik agar lebih dinamis.
Oleh: Tito Firesta,
Uli Retno Dewanti, Nugroho Budi Santosa
Pelajar
SMAN Bukateja Purbalingga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar