Fenomena batu akik yang
merambah banyak daerah di Indonesia salah satunya Purbalingga. Batu Klawing,
yang berasal dari Sungai Klawing, sungai yang melintas wilayah Purbalingga
menjadi salah satu primadona dunia batu akik.
Tidak hanya itu, fenomena
ini pun kemudian ditangkap oleh Pemerintah Kabupaten Purbalingga dengan
kebijakan yang kontroversial. Mendukung fenomena batu akik secara membabi-buta,
salah satunya dengan menggelontorkan dana lewat Anggaran Pendapatan dan
Belanjar Daerah (APBD) senilai hampir satu miliar rupiah.
Sementara, efek negatif
dari fenomena ini tampak terabaikan, seperti kerusakan alam yang terjadi di beberapa
titik berupa rusaknya tebing-tebing batu. Belum lagi, para pencari batu yang
sampai menjarah batu-batu yang merupakan situs purbakala.
Fenomena ini kemudian
ditangkap oleh komunitas film Gerilya Pak Dirman Film menjadi karya film pendek
bertajuk "Begal Watu" (Begal Batu). Film pendek yang disadur dari
cerita pendek karya Misyatun berjudul "Mendhem Watu" (Mabuk Batu) ini
diproduksi pada Senin, 23 Maret 2015 di wilayah Desa Tanalum, Kecamatan
Rembang, Purbalingga.
"Melalui film, kami
ingin menunjukan pada masyarakat, bahwa boleh saja ikut-ikutan booming batu
akik, namun perlu diperhatikan kelestarian alam dan kelestarian situs-situs purbakala,"
jelas Dinda Gita Rosita, sutradara yang masih duduk di bangku kelas X SMA
Rembang Purbalingga.
"Begal Watu" berkisah
tentang seorang anak muda yang tergila-gila pada batu. Setiap hari pekerjaannya
mencari batu, tidak hanya di sungai namun di semua tempat. Tidak hanya merusak
alam dengan mencongkel batu-batu mulia di tebing sebuah air terjun, tapi juga
mengambil batu situs purbakala, bahkan batu yang dipakai sebagai pondasi rumah
tetangga pun ia congkel.
Karyo Gunawan, yang berperan
sebagai Indra, pemuda pencari bahan batu akik mengatakan, ini pengalaman pertama
baginya bermain di film pendek. "Awalnya, saya sebatas mendukung komunitas
film yang katanya sudah tidak diakui pihak sekolah kami. Dan ternyata ikut
produksi film itu ramai dan mengasikan," ujar siswa kelas XI ini.
Usai beberapa hari lalu
memproduksi dokumenter, komunitas film yang sudah berdiri sejak 2010 ini
giliran memproduksi film fiksi pendek dengan biaya sendiri untuk turut
berpartisipasi pada program Kompetisi Pelajar Banyumas Raya Festival Film
Purbalingga (FFP) 2015 bulan Mei mendatang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar