Beberapa pekan silam, Imam
Sardi (42), seorang penambang pasir Sungai Klawing Purbalingga dipanggil ke Markas
Kepolisian Resort (Mapolres) Purbalingga. Lelaki warga Desa Jetis, Kecamatan
Kemangkon, Purbalingga ini sempat merasa takut.
Belakangan ada laporan
masyarakat, beberapa penambang emas hitam di jalur Sungai Klawing wilayah Jetis
melanggar aturan penambangan dengan mengambil pasir di bantaran sungai yang
berakibat longsor dan hilangnya pohon-pohon yang ditanam di atasnya.
“Ternyata salah tangkap.
Saya, terlebih istri saya, sempat merasa sangat takut. Saya tidak pernah
menambang di pinggiran, selalu di tengah sungai. Meski begitu di kantor polisi,
saya tetap diminta tanda tangan surat pernyataan,” tutur Sardi.
Sardi, sejak menikah
dengan Jumeni (41) pada tahun 1992, beralih profesi dari sopir ke penambang
pasir. Hanya berjarak sekitar 50 meter rumahnya yang masih berdinding bambu dengan
sungai terbesar di Purbalingga itu.
Menurut bapak dari Eva
Mega Restiani (18), Suci Ramadani (10), dan Anisa Nifkul Laila (4) ini,
menambang pasir itu gampang-gampang susah. “Gampangnya, pasir selalu tersedia
di sungai, alam yang menyediakan, yang penting kita jangan asal mengambil.
Susahnya, bila tidak menambang ya tidak dapat uang, menambang saja belum tentu
dapat uang bila pasir kita tidak ada yang membeli,” terang lelaki berkulit
legam ini.
Dalam sehari, Sardi
menambang dua kali. Bila rezeki sedang gampang, bisa bolak-balik lebih dari dua
kali. Sekali menambang, ia mampu mengantongi Rp 30 ribu untuk ukuran sekitar
satu kubik emas hitam.
Sejak sekitar tiga tahun
silam, keluarga Sardi telah memiliki perahu dan mesin sendiri dengan cara
menyicil selama kurang dari lima tahun. Namun demikian, pekerjaan Sardi masih
bergantung pada bos depot penambangan pasir yang turut mengatur pemasaran pasir
para penambang.
Apapun profesi Sardi
adalah anugerah bagi istri dan ketiga anaknya. Menurut Jumeni, ia sangat
bersyukur bersuamikan Sardi. “Bojoku kuwe
ora pediren, apa-apa sing demek bisa dadi duit. Kuwe senenge nyong neng kono.
(Suami saya itu tidak canggungan, apapun yang dikerjakan bisa jadi uang. Itu
senangnya saya disitu),” ujar ibu rumah tangga yang juga bekerja sebagai buruh
tani serabutan ini.
Oleh: Octa Berna Ratungga dan Zakaria Maolana Romadon
Pelajar
SMK YPLP Perwira Purbalingga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar