Sepagi itu, sebelum
terdengar adzan dari pengeras suara masjid dan mushola, Suwini (39) sudah
berhadapan dengan lampu neon menata helai rambut demi rambut menjadi bakal bulu
mata palsu.
Disela kesibukan sebagai
ibu rumah tangga dan istri seorang penderes (perajin gula merah), Wini
menyempatkan ngidep (membuat bulu mata palsu) untuk tambahan pendapatan suami
yang memang tak mencukupi.
Sementara suami, Suwitno
(41), sehari dua kali, pagi dan sore, harus turun naik 21 pohon kelapa yang
disewa untuk mengambil air nira. Harga gula merah (jawa) tak semanis rasa gula
yang dihasilkan pasangan tiga anak Witno dan Wini.
Kehidupan keluarga
penderes dan pengidep yang tinggal di Desa Candiwulan, Kecamatan Kutasari,
Purbalingga itu coba ditangkap kamera pelajar SMA Kutasari Purbalingga yang
tergabung dalam Papringan Pictures ekstrakulikuler sinematografi menjadi sebuah
film dokumenter.
“Banyak keluarga di
wilayah Kutasari dan Purbalingga umumnya yang kepala rumah tangga berprofesi
sebagai penderes dan perempuannya pengidep. Mereka yang diluar Purbalingga,
tidak banyak tahu seperti apa kehidupannya, untuk itu dokumenter ini kami
buat,” tutur Achmad Lutfi, periset sekaligus sutradara.
Lutfi dan beberapa temannya
telah beberapa bulan melakukan pengamatan terhadap kehidupan keluarga penderes.
Setelah dirasa cukup, mereka menjadwalkan pengambilan gambar selama lima hari,
Rabu-Minggu, 22-26 Januari 2014.
“Selain teknik kamera yang
diterapkan, kesabaran menjadi kunci dalam produksi dokumenter ini. Kami
mengikuti jam demi jam kehidupan meraka dengan segenap konfliknya,” ungkap
penata kamera, Lutfi Utami.
Kepala SMA Kutasari Joko Suryanto
mengaku dirinya yang meminta siswa ekskul sinematografi untuk memproduksi film terkait
kehidupan penderes. “Kami mengamati, perjuangan hidup keluarga penderes itu
luar biasa. Setiap hari mereka berhadapan dengan resiko jatuh dari pohon
kelapa. Menurut kami, ini menarik bila difilmkan,” ujarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar