01 Juni 2009

Berkah Purbalingga Film Festival


Oleh Teguh Trianton

PURBALINGGA Film Festival (PFF) adalah ajang kompetisi kreativitas dan potensi pelajar SMA/SMK/MA se-Banyumas Raya (Purbalingga, Banyumas, Cilacap, Banjanegara) dalam bidang seni sinematografi. Ajang ini menjadi salah satu elan positif bagi perkembangan industri kreatif di tingkat pelajar.

Di samping itu juga menjadi saluran katarsis bagi kejumudan kaum muda atas segala bentuk kemapanan dan ketidakmampuan lembaga seni dan budaya dalam mewadahi keragaman kreativitas.

Pada 2009, PFF telah memasuki usia ketiga sejak kali pertama digelar pada 2007. Dari dua tahun sebelumnya PFF telah berhasil menelurkan berbagai prestasi. Film-film garapan sineas Banyumas berhasil menduduki tempat terhormat di berbagai ajang festival tingkat regional, nasional, bahkan internasional.

Sekadar mengingatkan, beberapa catatan keberhasilan sineas Purbalingga antara lain; Senyum Lasminah garapan sutradara Bowo Leksono menjadi Film Terbaik II pada Festival Video Edukasi (FVE) 2007. Kemudian Pasukan Kucing Garong menjadi film Fiksi Terbaik di ajang Malang Film Video Festival (Mafviefest) 2007. Film Adu Jago menjadi film dokumenter terbaik di ajang yang sama.

Kemudian dua film pendek Purbalingga, yaitu Peronika dan Metu Getih karya Heru C. Wibowo bersama 16 film pendek Indonesia lain, mendapat kehormatan tampil di Festival Film Eropa bertajuk Europe on Screen 2007 (EOS 2007). Disusul film Boncengan dan Lengger Santi yang lolos dalam kompetisi Festival Film Pendek Konfiden 2007.

Capaian keberhasilan tersebut sesungguhnya sangat membanggakan, terutama bagi masyarakat Purbalingga. Betapa tidak? Dari hasil jerih payah penggalian ide kreatif anak-anak muda Purbalingga, telah mampu menggangkat daerahnya ke pentas nasional.

Tidak Diperhatikan
Sayang, berbagai capaian tersebut ternyata tidak dibarengi dengan perhatian dari pemerintah daerah setempat. Sejarah perkembangan dunia sinematografi Purbalingga menunjukkan pemerintah daerah Kabupaten Purbalingga hingga kini belum menunjukkan keseriusan perhatian dalam ranah realistis.

Selama ini perhatian yang diberikan pada komunitas pegiat film di Purbalingga yang tergabung dalam wadah Cinema Lovers Community (CLC) baru sebatas retorika. Pemerintah melalui dinas terkait —Dinas Pendidikan, Dinas Pariwisata, Seni dan Budaya— terlihat masih sungkan memasukkan sinematografi menjadi bagian dari program kerja mereka.

Ini terbukti dari tiga kali perhelatan PFF, yaitu pada 2007, 2008, dan 2009 yang berlangsung 21-23 Mei lalu, pemerintah tak terlibat langsung dalam proses penyelenggaraannya. Malah sebaliknya, beberapa hambatan penyelenggaraan PFF 2009 justru datang dari penguasa, seperti pemboikotan spanduk PFF yang dilakukan oleh aparat Satpol PP beberapa waktu lalu.

Nilai Strategis
Tiga kali penyelenggaraan PFF dalam tiga tahun berturut-turut merupakan kerja keras yang luar biasa. Apalagi tanpa campur tangan pemerintah. Terlihat ironis memang. Tapi barangkali inilah risiko kerja kebudayaan yang tidak dapat diharapkan menjadi sumber tambang pendapatan asli daerah (PAD).

Namun saya masih berharap pada pemerintah setempat untuk ambil bagian dalam penyelenggaraan PFF pada tahun-tahun mendatang. Saya optimis, mengingat PFF sebagai manifestasi perkembangan sinematografi sesungguhnya memiliki nilai strategis bagi pembangunan Purbalingga, dan Banyumas Raya pada umumnya.

Pertama, secara politis kehadiran industri kreatif —sinematografi— di Purbalingga membuka wacana baru dalam proses marketing politik. Secara administratif Kabupaten Purbalingga tidak hanya dikenal sebagai wilayah penghasil rambut, namun juga dikenal di pentas nasional sebagai kabupaten produsen film pendek.

Kedua, dari sisi diplomasi budaya film pendek garapan sineas Purbalingga mampu membawa seni tradisi dan nilai-nilai kearifan lokal Purbalingga sejajar dengan seni tradisional dari daerah lain di Indonesia, bahkan dunia. Ini terjadi karena mindset film pendek Purbalingga konsisten mengangkat isu-isu lokal.

Sumbangan Besar

Ketiga, di wilayah edukatif, keberadaan PFF dan seni sinematografi ini memberikan sumbangan yang sangat besar. Dunia pendidikan Purbalingga mendapat referensi dan materi bahan ajar terkini (baca: kontemporer) untuk membangun karakter peserta didik.

Lebih jauh lagi, film (sinematografi) mengilhami stakeholder dan pelaku pendidikan untuk lebih kreatif menciptakan metode dan bahan ajar berbasis multimedia. Ini adalah terobosan baru di Purbalingga.

Keempat, secara ekonomis kehadiran industri kreatif ini ternyata telah mampu mengantarkan pegiat film pendek untuk berkiprah di kancah industri kreatif yang komersial. Beberapa sineas Purbalingga telah terlibat dalam penggarapan film-film komersil, penyutradaraan iklan, videografi, video klip dan sebagainya.

Di sisi lain, berkembangnya sinematrografi di Purbalingga juga telah ikut mengurangi pengangguran. Selain terlibat dalam proyek film besar, para sineas juga banyak mendapat job untuk dokumentasi upacara hajatan perseorangan, lembaga bahkan hajatan pemerintah. Mereka mengisi lapangan pekerjaan di sektor jasa.

Kelima, kehadiran sinematografi ini dapat menjadi media komunikasi antara rakyat dengan pemerintah (eksekutif dan legislatif). Potensi kreativitas yang berbasis kearifan dan isu-isu lokal dapat dijadikan dasar dalam pengambilan kebijakan pembangunan.

Sesungguhnya jika pemerintah telah melihat bahwa dunia sinematografi di Purbalingga memiliki nilai strategis dalam proses pembangunan, maka pada tahun-tahun mendatang pemerintah tidak segan dan sungkan lagi terlibat secara aktif menumbuhkembangkan industri kreatif.

Ini dapat dilakukan dengan mengambil alih sepenuhnya pembiayaan penyelenggaraan PFF. Atau bekerja bersama (ambil bagian) untuk perhelatan PFF. Di wilayah politik, pemerintah sebenarnya dapat membuat regulasi perfilman di Purbalingga.

Dalam bidang pendidikan, pemerintah dapat memasukan sinematografi menjadi salah satu kegiatan ektrakurikuler di sekolah. Bahkan pemerintah dapat memfungsikan lembaga kesenian dan kebudayaan yang ada sebagai salah satu pilar kebudayaan yang dinamis, akomodatif, dan responsif.

— Teguh Trianton, periset Beranda Budaya (Banyumas)
— WACANA Suara Merdeka, 28 Mei 2009

Tidak ada komentar: