01 Juni 2009

Demam Facebook Lewat Film Pendek


KORAN TEMPO, 25 Mei 2009, Aris Andrianto

Purbalingga hanyalah kota kecil di Jawa Tengah bagian selatan. Meski demikian, Kamis pekan lalu (21 Mei), di kota itu berlangsung Purbalingga Film Festival 2009. Tapi, tak sebagaimana festival film, tak ada hamparan karpet merah, dan acaranya pun digelar di hotel kecil, yakni Hotel Kencana, hingga Sabtu pekan lalu. Ruangan tempat acaranya juga pengap dan panas. “Namanya juga festival film pendek,” ujar Bowo.

Meski demikian, jumlah penonton membludak. Apalagi tahun ini panitia menggelar festival film pendek untuk sineas sekolahan. Temanya adalah agar lebih dekat dengan lingkungan. Alhasil, 10 film pendek karya anak sekolah menengah atas dari empat kabupaten ikut serta dalam festival itu. Festival akan memilih tiga film terbaik.

Ceritanya tak jauh dari kehidupan sekolah. Misalnya film Baju Buat Kakek karya siswa SMPN 4 Karangmoncol, Purbalingga. Film itu bercerita tentang kesulitan Prapti yang tinggal dengan kakeknya. Tapi, sang kakek meninggal karena kanker otak. “Film ini bercerita tentang realitas anak sekolahan di lereng Gunung Slamet,” kata Misyatun, sutradara film itu.

Menurut Misyatun, film bisa menjadi sarana pendidikan yang baik. Selama ini, metode pendidikan lebih banyak textbook. Dengan film, kata dia, anak sekolah bisa belajar tentang realitas kehidupan mereka. “Yang jelas, kami antisinetron,” ujar Misyatun.

Lewat film independen, anak-anak bisa belajar tentang idealisme film. Tujuannya, untuk melawan film mainstream yang sering tak rasional. “Paling tidak, mereka tahu ada film alternatif yang bisa ditonton selain sinetron dan film bioskop,” tutur pegiat Boemboe Forum Lulu Ratna.

Selain itu, kata Lulu, masyarakat di daerah harus tahu bahwa ada film karya daerahnya yang bermutu. “Film karya anak daerah dipandang lebih membumi dibanding karya mainstream saat ini,” ujarnya. Lihatlah tiga judul film terbaik hasil pilihan juri yang diketuai oleh Indaru Setyo Nur Projo, dosen Universitas Jenderal Soedirman. Film berjudul Sandal Jepit yang disutradarai oleh Bani Dwi K dari SMAN 1 Purbalingga meraih predikat sebagai film terbaik pertama. “Tema dan teknis pembuatan cukup bagus,” tutur Lulu.

Menurut Indaru, sineas muda Banyumas mampu memotret realitas sosial setempat menjadi sebuah dokumentasi sosial. Ia mencontohkan, sineas dari Purwokerto berhasil mengangkat wacana homoseksual di kotanya. Sedangkan sineas asal Purbalingga mengangkat tema penyebab premanisme akibat kemiskinan. Adapun sineas dari Cilacap mengangkat soal demam Facebook di kalangan siswa daerah pinggiran.

Tidak ada komentar: