16 Februari 2008

Membumikan Bahasa Daerah Lewat Film

Sebagai bangsa Indonesia, kita patut berbangga, memiliki bahasa ibu terbanyak kedua di dunia setelah Papua Nugini. Kebanggaan ini tentu membawa konsekuensi bagi kita agar mampu melestarikannya karena menurut data UNESCO, setiap tahun ada sepuluh bahasa di dunia ini yang punah.

Bahasa adalah salah satu kekayaan budaya karena bahasa merupakan bagian dari budaya bahkan menjadi satu kesatuan yang utuh. Bisa dipastikan setiap manusia Indonesia mempunyai latar belakang bahasa daerah masing-masing. Latar belakang bahasa ini menjadi karakter manusia itu sendiri.

Bahasa daerah secara langsung turut membangun karakter bangsa. Benar adanya bahwa ’bahasa menunjukkan bangsa’. Dan karakter bangsa ini bisa dipelajari melalui berbagai media seni; sastra, panggung, dan film. Untuk media film, bahasa menjadi salah satu unsur penting karena turut membangun alur cerita.

Bahasa Daerah dalam Film
Perbedaan apa yang dirasakan ketika kita membandingkan tontonan yang menggunakan pengantar bahasa daerah kita, dengan tontonan sinetron atau sejenisnya? Terasa lebih dekat dan seperti ada perasaan memiliki tentunya. Namun sayangnya, produk lokal ini tidak mendapat kesempatan yang cukup. Kalau toh televisi swasta lokal memiliki kesempatan yang lebih, secara kuantitas masih jauh dari cukup.

Ketika saya memproduksi film pertama berbahasa Banyumasan berjudul ”Peronika”, saya yakin akan bisa diterima kalangan luas. Bukankah kita juga bisa menerima dengan baik film-film dari Hollywood, Eropa, Iran, Korea, Cina atau negara lainnya dengan adanya teks bahasa yang bisa dipahami oleh kita? Dan tidak harus menunggu lama, permintaan dari beberapa teman distributor independen agar saya bersegera membuat subtitle bahasa Inggris film tersebut, untuk kemudian turut dinikmati orang luar negeri.

Dengan menggunakan bahasa daerah sebagai sarana pengungkap dialog-dialog film berarti turut menjaga dari kepunahan. Belum banyak memang pihak yang menggunakan film-film Banyumasan sebagai sarana belajar di sekolah formal. Apa yang saya dan teman-teman di Banyumas lakukan adalah mencoba melestarikan bahasa ibu sesuai kemampuan. Namun kami yakin, kelak karya-karya kami akan menjadi rujukan dan materi bagi dunia edukasi.

Maka, mari! Kita buat karya film dengan dengan lokal yang kental yang akan menjadi dokumentasi penting di kelak kemudian hari. Tidak saja kita sedang memperkenalkan budaya lokal termasuk bahasa di dalamnya, namun sekaligus menjaganya dari kepunahan.
Oleh Bowo Leksono, sutradara film asal Purbalingga
Artikel ini akan disampaikan pada peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional-Festival Film Jawa
Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa-Universitas Negeri Semarang (UNNES)-Selasa, 19 februari 2008

Tidak ada komentar: