Manarwi (80) ditemani istrinya
Karsiem (75) duduk dan berbincang santai di sebuah risban (bangku panjang) di
dalam rumah mungil berdinding bambu. Di depan mereka, secangkir teh pahit untuk
berdua.
Demikian kebiasaan Manarwi
dan istri tercinta dalam mengisi hari-hari tuanya. Manarwi adalah salah satu
penari Lengger Lanang (lengger laki-laki) yang masih tersisa dari Desa
Panusupan, Kecamatan Rembang, Kabupaten Purbalingga.
“Sedurunge nyong, ana Kaki
Wasidin sing uga dadi lengger. Ning wis lawas ora nana. Nek siki ya urung ana
sing nerusna, merga urung ana indang sing mencrok,” ujar Manarwi. (Sebelum
saya, ada Kakek Wasidin yang juga jadi lengger. Tapi sudah lama meninggal. Kalau
sekarang belum ada yang meneruskan, karena belum ada ‘indang’ yang menghampiri)
Manarwi, kakek yang
mempunyai 5 anak, 10 cucu, dan 6 buyut ini sudah menari lengger sejak usia 10
tahun. Saat itu, ada tokoh bernama Santabesari yang berhasil melihat ‘indang’
lengger dari Pegunungan Lawet jatuh di rumah Manarwi. Kemudian oleh Kasanom,
pimpinan lengger saat itu, Manarwi kecil diajak latihan ‘njoget’ lengger.
Dalam hitungan hari,
Manarwi mampu menguasai gerakan-gerakan dan lagu-lagu lengger, karena lengger
lanang tidak hanya mampu menari, tapi juga harus mampu menyanyi. Sementara
pengiringnya berupa alat musik angklung berjumlah 14 angklung yang dimainkan
oleh 3 orang, satu gong bumbung (gong bambu), dan satu kendang. Dulu masih ada
satu orang penari yang bertindak sebagai badut bernama Kolor, namun sudah
meninggal.
Manarwi adalah generasi
ke-5 lengger lanang di tlatah Panusupan. Ia bertindak seperti perempuan hanya
saat di atas pentas. Dalam kehidupan sehari-hari, ia tetap sebagai lelaki biasa.
Dahulu, di atas panggung, paras dan auranya sangat memikat, gerakan tari
lenggernya sangat gemulai.
“Gemiyen sing pada
kesengsem maring nyong ya ana sing kasi pitung ndina pada ora gelem bali, padahal
tanggapan lenggere wis rampung,” ungkap lengger yang sudah tak berambut panjang
ini. (Dulu yang suka sama saya ya ada yang sampai tujuh hari tidak mau pulang,
padahal tanggapan lengger sudah selesai).
Pentas Sakral
Saat ini, Lengger Lanang
Desa Panusupan yang sudah ada sejak zaman Belanda dipentaskan untuk kebutuhan
yang sakral atau ruwatan. Selebihnya, lengger bisa dipentaskan atau ditanggap bagi
kepentingan hajatan.
Menurut Tarsini (57), pimpinan
kesenian lengger lanang, seringnya lengger ditanggap untuk kepentingan ruwatan.
“Seperti ruwat bumi bagi petani yang tanaman padinya diserang hama atau ruwat
anak yang sakit-sakitan agar diberi kesembuhan,” jelas pesinden yang juga pimpinan
kelompok kesenian Ebeg Turangga Seta Desa Panusupan ini.
Karena itu, lengger lanang
kerap ditanggap oleh para petani dan manggung di tengah persawahan dimana tanaman-tanaman
padi milik petani diserang hama. “Mementaskan lengger itu sarana memohon kepada
Yang Kuasa agar kesulitan-kesulitan yang kita alami bisa teratasi,” jelas
Tarsini.
Sejak dulu, keberadaan
kesenian lengger sangat dekat dengan kehidupan petani. Seiring kemajuan zaman,
berkembangnya desa menjadi kota, menyempitnya tanah pertanian karena bangunan
pabrik dan perumahan, berakibat kesenian tradisi sulit bertahan.
Pelajar SMAN Rembang Purbalingga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar