16 Desember 2007

Nonton Komidi Sorot di Banyumas

Putu Fajar Arcana KOMPAS Minggu, 16 Desember 2007

Siapa pernah menyangka jika di satu wilayah yang dianggap jauh dari jamahan industri budaya pop meluncur sebuah festival film. Karnaval Film Pendek Banyumas 2007 pada 7 Desember lalu, yang memutar film-film karya para pekerja film asal Cilacap, Banyumas, Purbalingga, dan Banjarnegara, seperti menjadi wahana baru menyatakan diri.

Direktur Jaringan Kerja Film Banyumas (JKFB) Sigit Harsanto menuturkan, sebagian besar film-film yang diproduksi di wilayah mereka berangkat dari realitas kultural lokal yang khas dan unik. ”Hampir semua menggunakan bahasa Banyumasan,” ujar Sigit. Film-film itu diputar berdampingan dengan film-film produksi Eropa dari desa ke desa. Jika kebanyakan orang menyebut istilah layar tancep untuk menonton film, di wilayah sekitar Banyumas disebut komidi sorot. ”Penontonnya bisa ratusan, bahkan jauh lebih banyak dibandingkan dengan pemutaran di kampus,” kata Sigit.

Dalam waktu yang nyaris berbarengan digelar pula festival-festival film dalam skala lebih besar dan mapan, seperti Jakarta International Film Festival (JiFFest), Festival Film Indonesia (FFI) di Riau, dan Festival Film Dokumenter (FFD) di Yogyakarta. Sebelumnya juga sudah digelar Jogja- NETPAC Asian Film Festival di Yogyakarta, Festival Film Asia Afrika, Queer Film Festival, dan LA Light Indie Movies di beberapa kota. Bahkan, jaringan bioskop teranyar Blitzmegaplex merasa perlu melakukan hal sama. Mereka, misalnya, menggelar Screamfest Indonesia, Festival Film Fantastik, dan Festival Film Korea.

Festival paling menonjol sepanjang tahun tentu saja JiFFest yang dimulai tahun 1999. Festival ini berhasil menjadi pelopor mendobrak hegemoni tontonan. Mereka membawa film-film alternatif yang selama ini tidak pernah beredar dalam ranah tontonan film di Indonesia. Selain membawa film-film Eropa, festival ini juga memutar film-film dari Asia Timur dan Asia Tengah yang tidak mendapatkan porsi layak di gedung bioskop.

Penampilan film-film alternatif itu, kata Direktur JiFFest 2007, Lalu Roisamri, dimaksudkan untuk mendidik konsumen dan meningkatkan apresiasi masyarakat umum terhadap film. ”Pada akhirnya akan terjadi apresiasi terhadap film nasional,” ujar Roisamri. Tahun lalu festival ini berhasil menjaring tak kurang dari 63.000 penonton. Bahkan, menurut Roisamri, telah ada sekitar 5.000 penonton tetap. ”Mereka minimal menonton satu film tiap hari,” katanya. Tahun ini dengan budget yang berkurang sekitar 10 persen, mereka menargetkan penonton minimal 60.000 dalam perhelatan yang berlangsung pada 7-16 Desember 2007 itu.

Pada Senin (10/12) lalu, penonton juga berduyun-duyun memasuki Benteng Vredeburg Yogyakarta. Hanya beberapa menit ruangan audio-visual di benteng itu terasa sesak. Mereka rela berdesak-desakan untuk menonton pemutaran film Paper Can Not Wraps Embers, film dokumenter besutan sutradara Rithy Panh dari Kamboja. Di tempat itu memang sedang berlangsung FFD. ”Apresiasi penonton di Yogyakarta terhadap film cukup tinggi,” ujar Direktur FFD 2007 Dwi Sujanti Nugraheni.

Hegemoni
Menurut sutradara Garin Nugroho yang juga Direktur Jogja-NETPAC Asian Film Festival, festival film yang belakangan menjamur di negeri ini pertama-tama adalah upaya menjawab keberagaman teknologi dalam industri kebudayaan.
”Ini era di mana pernyataan diri lewat komunitas menjadi begitu penting,” katanya. Realitas ini tak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di dunia. Setiap tahun tak kurang terjadi 300 festival film.

Dekan Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta (IKJ) Marselli Sumarno menambahkan, festival film sudah mentradisi di Amerika dan Eropa. Selain ada Oscar yang dimulai tahun 1927, ada pula New York Film Festival dan Chicago Film Festival. ”Ini masing-masing dibuat oleh komunitas dengan pandangan khusus," tuturnya.

Kritikus film Seno Gumira Ajidarma melihat banyaknya festival film itu sebagai wacana kebudayaan, yakni terjadinya demokratisasi dalam politik sinema. Orang-orang yang dulu hanya jadi penonton kini bisa melahirkan film sendiri dan menggelar festival sendiri. ”Sebagian festival merupakan perlawanan terhadap wacana dominan yang dulu dihegemoni pemerintah,” ujarnya.

Memang, dulu FFI tidak boleh memiliki saingan. Pemerintah Orde Baru begitu gerah ketika di Bandung diadakan kegiatan yang menggunakan nama festival. ”Pemerintah berusaha menjaga kebenaran tunggal,” tambah Seno. Reformasi kemudian tak hanya memecah kebuntuan secara politik, tetapi juga menggerus hegemoni industri kebudayaan. Teknologi digital harus diakui telah memberi andil besar di dalam membahasakan identitas lokal, sampai ke pelosok dusun-dusun.

Orang-orang di sekitar Banyumas, menurut Sigit, sekarang sungguh gembira jika menyaksikan film yang menggunakan bahasa mereka sendiri. Ekspresi dengan bahasa lokal yang dimungkinkan teknologi digital itu seakan telah membebaskan satu entitas subkultur Jawa yang selama ini senantiasa hidup dalam bayang-bayang.

Garin Nugroho membahasakan ini dengan mengatakan, ”Komunitas menjadi tempat berkumpul, mempertahankan diri, membentuk dunia bersama, yang sekaligus bisa menjadi gaya hidup dan ekonomi.” Artinya, festival yang ada sekarang tidak sekadar euforia sebagaimana kuda lepas dari tali kekang. Festival film, selain sebagai medium hiburan dan penyaluran hobi, telah pula menjadi bahasa baru bagi entitas kultural untuk mengidentifikasi, menyatakan diri, dan sekaligus mempertahankan diri dari kemungkinan terabaikan.

Film tidak lagi dinikmati sekadar ”komidi sorot” ketika tiada alternatif lain untuk memperoleh hiburan yang segar dan renyah, tetapi menjadi ruang ekspresi untuk menangkap fenomena sosial dan kultural di sekitar situs hidup satu komunitas…. (YOP/IAM/DHF/IVV)
Merayakan Keberagaman
Berbarengan dengan penggelindingan wacana postmodernisme, realitas multikulur tak lagi sekadar hadir di ruang-ruang seminar. Film yang tadinya identik dengan ekspresi eksklusif masyarakat urban perkotaan diadopsi pula oleh masyarakat yang secara kultural "sangat" terpencil. Realitas itu dipermudah oleh teknologi digital yang makin murah dan beragam. Untuk membuat film, misalnya, orang hanya butuh satu handycam dan laptop. Dengan sedikit penguasaan teknik, film yang disimpan dalam cakram CD sudah bisa diputar dari dusun ke dusun, bahkan sampai ke Eropa.

Pada subkultur Jawa, seperti eks-Karesidenan Banyumas yang meliputi wilayah Cicalap, Banyumas, Purbalingga, dan Banjarnegara, sejak tahun 2001 sudah terdapat aktivitas komunitas penikmat dan pembuat film-film pendek. Bahkan, pada 7 Desember lalu, Jaringan Kerja Film Banyumas (JKFB) membuat festival bernama Karnaval Film Pendek Banyumas. Di situ tidak saja ditampilkan film-film pendek lokal karya mereka, tetapi juga mendatangkan langsung film-film dari Eropa. "Kami impor langsung dari Eropa dengan maksud membuat perbandingan bagi pekerja film lokal," ujar Direktur JKFB Sigit Harsanto, Kamis (13/12).

Harus pula diakui banyak festival film di daerah lahir setelah sekelompok pencinta dan pekerja film menggelar JiFFest tahun 1999. JiFFest ibarat anak kunci untuk membuka pintu, untuk merayakan keberagaman. Film- film yang tadinya dianggap "tabu" lantaran sistem monopoli, baik secara ekonomi maupun selera, tiba-tiba hadir di hadapan penonton.

Selain festival-festival yang bersifat "kedaerahan", jaringan bioskop terbaru seperti Blitzmegaplex menyodok dengan mengadakan berbagai festival. Mereka menggelar Festival Film Korea dan Screamfest Indonesia, serta dalam waktu dekat menggelar festival film anak. Bahkan, Departemen Luar Negeri merasa perlu pula menggelar festival film. Pada 6-8 Desember 2007, menurut Direktur Diplomasi Publik Departemen Luar Negeri Umar Hadi, mereka menggelar Festival Film Asia Afrika.

Secara tidak langsung festival film membuat segmentasi pada tingkat konsumen. Dan itulah yang menurut Garin Nugroho menjadi ciri khas masyarakat dewasa ini. Komunitas menjadi begitu penting diperjuangkan, dipelihara, dan bahkan dipertahankan karena dalam komunitas itulah orang merasa bebas berekspresi tanpa merasa berbeda.

Dengan begitu, perayaan terhadap keberagaman sebagaimana yang telah dicapai sekarang adalah relasi-relasi dalam dan antarkomunitas untuk menyikapi perkembangan industri kebudayaan yang didorong teknologi digital dan medium ekspresi di tengah serbuan globalisasi yang dapat menyeragamkan selera. (IVV/DHF/IAM/YOP/CAN)

1 komentar:

amin botak bae mengatakan...

Aku terbatuk batuk membacamu. Begitu liat film mu biasa biasa saja.demikian tulisan Emha Ainun Nadjib:
Begitulah kebiasaan seniman yang juga wartawan. Selalu melakukan polusi publikasi. Menghembuskan event dirinya, tanpa bisa menakar harga. Sehingga bagia cendekia pembaca (bukan orang awam), terasa sesak didada, setiapkali membaca dan melihat pulikasi. Barangkali event film di Banyumas itu yang sedang terjadi.
Mengingatkan saya pada seorang teman Banyumas yang melakukan hal serupa, dia seniman dan wartawan yang gemar beronani dg publikasi dirinya, hingga muntah (maaf kusebut inisial NN AN orangnya). Ternyata kini ada penerus NN AN, seniman yang juga wartawan dan gemar mempolusi publikasikan film film dirinya(disebut dirinya, karena biasanya ogah mempublikasikan kelompok sineas lain, pesaing). Memang begitulah, eseis muda yang masih harus belajar bijak sehingga tidak terjadi dikriminasi publikasi. Tidak menjadi seniman yang juga wartawan tetapi sekaligus PELACUR media massa. (SUARA MUHHAMADIYAH,2007)