29 Desember 2007

Film Banyumas Sepanjang 2007; Membanggakan tapi Belum Menggembirakan

”Televisi adalah sastra rakyat hari ini,” kata Garin Nugroho. Bila saat dimulainya revolusi Gutenberg, buku dinamai sebagai jendela dunia, peran itu kini telah diambilalih oleh televisi. Dan televisi sangat membutuhkan produksi beragam jenis tayangan, satu diantaranya sajian film. Akan tiba waktunya, film-film produksi berbagai komunitas lokal menghiasi layar kaca, berderet bersama film impor.
Undang-Undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 ‘toh’ telah menetapkan sistem televisi jaringan yang mematok kian banyak tayangan lokal. Sehingga tentu membanggakan jika anak-anak muda yang lahir dari rumpun kebudayaan Banyumasan sudah mendahului jaman dengan memperkenalkan kategori Film Banyumas kepada publik. Setidaknya di tingkat nasional, dengan jumlah keikutsertaan festival film mencapai puluhan, film Banyumas tak luput dari perhatian.
Komunitas film yang secara samar mulai muncul di Purwokerto tahun 1999, kini telah menjadi jamak di Kabupaten Purbalingga dan Banyumas. Cilacap dan Banjarnegara, dengan jumlah komunitas yang lebih sedikit pun tak jemu-jemunya menggelar kegiatan. Keikutsertaan sineas Purbalingga pada Festival Film Eropa, dan undangan untuk Komunitas Sangkanparan dan sineas SMA 1 Cilacap di ajang Pusat Kebudayaan Prancis, menandai langkah maju di lingkungan penikmat film internasional.
Naif jika televisi menjadi satu-satunya tujuan produksi film lokal. Ajang eksebisi film, sistem distribusi mandiri dan festival film justru menjadi isu pokok yang kini digarap komunitas film. Sebagai produk alternatif dari industri film berskala raksasa, komunitas film juga menawarkan idealisme tertentu.
Manajer Program Cinema Lovers Community (CLC) Purbalingga, Bowo Leksono mengusung isu membangkitkan kembali kecintaan pada bahasa beserta aspek budaya Banyumasan. Insan Indah dari Sangkanparan Cilacap lebih menjadikan film lokal sebagai alternatif tontonan dari tayangan tak membumi televisi nasional. Hadir pula kelompok produksi film yang lebih bersifat komersil, dan tidak berkaitan dengan kerja-kerja komunitas film.
Infrastruktur Minim
Sementara disisi lain, fakta bahwa begitu banyak persoalan yang membelit insan film tidak dapat ditampik. Pegiat film beserta produksinya masih berada di menara gading, alias sulit direngkuh khalayak awam. Sampai-sampai, di sebuah forum film, pegiatnya tak bisa memilah pengertian antara film dokumentasi dengan film dokumenter. Wacana film di Banyumas masih ‘diawang-awang’ . Itu akibat jumlah sumber daya yang dapat dikatakan masih sangat terbatas. Sama terbatasnya dengan infrastruktur yang juga masih minim. Masing-masing kelompok dan individu harus berjibaku mengelola dana, dan belum sanggup mengusaikan kerja edukasi secara lebih masif.
Kehadiran Festival Film Banyumas (FFB) yang untuk kali pertama digelar Komunitas Jurnalis Televisi Purwokerto (KJTP) menjadi salah satu penanda kepercayaan terhadap film Banyumas. Lepas dari berbagai kelemahan, ajang itu diharapkan bisa memantik semangat produksi. Sementara perubahan forum komunikasi antarkomunitas di eks Banyumas menjadi asosiasi film bernama Jaringan Kerja Film Banyumas (JKFB) juga menjadi tonggak sejarah baru. Sejauhmana kinerja asosiasi yang diantaranya dibesut oleh perintis komunitas film pendek di Banyumas Besar masih terlalu dini dievaluasi. Yang jelas, tumbuhnya sejumlah ‘pusat’ -pusat baru kegiatan film di Banyumas Besar diharapkan mampu mendorong percepatan perkembangan film daerah. Dan tahun 2008 mendatang, menjadi batu ujian kesinambungan kiprah komunitas film Banyumas. (H39*)

Suara Merdeka, Jumat 27 Desember 2007

Tidak ada komentar: